Sabtu, 27 September 2014

UNRIKA Gelar Seminar Keanekaragaman Hayati

http://www.haluankepri.com/pendidikan/68497-unrika-gelar-seminar-keanekaragaman-hayati-.html
Sabtu, 27 September 2014 00:00
BATAM (HK)-Program studi pendidikan Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Riau Kepulauan (Unrika) menggelar  seminar dengan Tema Keanekaragaman Hayati Indonesia Menggapai Peluang Masa Depan, Rabu (25/9). Seminar bertempat diruang FKIPC.129 itu menghadirkan pembicara Dr Wilson Novarino yang diikuti seluruh mahasiswa Program Studi Pendidikan Biologi berjumlah 250 orang.
Dahrul Aman Harahap selaku Wakil Rector Bidang Kemahasiswaan dan Alumni, menyampaikan bahwa seminar ini dilaksanakan sesuai dengan program studi yang ada di Unrika dalam menambah wawasan dan transfer knowledge dari dosen tamu yang ahli di bidangnya. Seperti ulasan akan keanekaragaman hayati atau biodiversity terdapat berbagai macam variasi bentuk, penampilan, jumlah dan sifat yang terlihat pada berbagai tingkatan persekutuan makhluk, yaitu tingkatan ekosistem, tingkatan jenis dan tingkatan genetika.


Menurut ulasan disampaikan Dr Wilson Novarino yang merupakan Dosen UNAND ini, pada dasarnya keragaman ekosistem di alam terbagi dalam beberapa tipe, yaitu ekosistem padang rumput, ekosistem hutan, ekosistem lahan basah dan ekosistem laut. Kanekaragaman tipe-tipe ekosistem tersebut pada umumnya dikenali dari ciri-ciri komunitasnya yang paling menonjol, dimana untuk ekosistem daratan digunakan ciri komunitas tumbuhan atau vegetasinya karena wujud vegetasi merupakan pencerminan fisiognomi atau penampakan luar interaksi antara tumbuhan, hewan dan lingkungannya.

Sementara Rudi Saputra merupakan salah satu mahasiswa FKIP Biologi, menilai potensi keanekaragaman hayati seringkali yang lebih banyak menjadi pusat perhatian adalah keanekaragaman jenis, karena paling mudah teramati. Sementara keragaman genetik yang merupakan penyusunan jenis-jenis tersebut secara umum lebih sulit dikenali. Sekitar 10 % dari semua jenis makhluk hidup yang pada saat ini hidup dan menghuni bumi ini terkandung pada kawasan negara Indonesia, yang luas daratannya tidak sampai sepertujuhpuluhlima dari luas daratan muka bumi.

Secara rinci dapat diuraikan bahwa Indonesia dengan 17.058 pulau-pulaunya mengandung 10 % dari total jenis tumbuhan berbunga di dunia, 12 % dari total mamalia di dunia, 16 % dari total reptil dan ampibia di dunia, 17 % dari total jenis burung di dunia dan 25 % atau lebih dari total jenis ikan di dunia. Tidak hanya itu, satwa yang lain juga merasakan kondisi seperti yang dialami satwa burung. Misalnya saja beberapa jenis reptil, amfibi, kupu-kupu dan capung.

Begitu pula kata dia, beberapa jenis capung yang sangat sensitif terhadap pencemaran lingkungan mungkin sudah tidak bisa dijumpai lagi di kota-kota besar, bahkan mungkin bisa dibilang punah. Sungguh sangat memprihatinkan. Seharusnya, kelestarian keanekaragaman hayati di luar kawasan lindung mendapat prioritas utama dalam pembangunan kota atau daerah, karena kelestariannya akan sangat mendukung kelestarian keanekaragaman hayati di dalam kawasan lindung yang saat ini kita pertahankan mati-matian.

Bisa dibilang, kelestarian keanekaragaman hayati berada di ujung tanduk kepunahan. Laju kepunahan memang tidak bisa dihentikan, tetapi lajunya harus diperlambat dan harus sangat-sangat diperlambat. Di dalam kawasan lindung, adalah peran pemerintah membuat kebijakan-kebijakan yang utamanya adalah pelestarian diiringi dengan penegakan hukum setinggi-tingginya dan pelibatan peran serta masyarakat sekitar.

Diluar kawasan hutan lindung, adalah peran pemerintah dan masyarakat yang sadar dan peduli akan pentingnya kelestarian keanekaragaman hayati yang ada di sekitar. Memang, undang-undang dan peraturan pemerintah sudah hampir mengakomodasi untuk perlindungan keanekaragaman hayati negeri ini, tetapi kepedulian sebagian besar masyarakat masih belum menuju ke sana. Di luar kawasan lindung, sering kebijakan yang sudah ada sebelumnya berbenturan dengan kepentingan kelompok tertentu, misalnya saja pemerintah daerah atau kabupaten yang tidak “mematuhi” kebijakan yang ada sebelumnya, bahkan cenderung dibilang mengeksploitasi, atau pembangunan fisik daerah yang jauh dari pembangunan hijau. (jurnalis)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar