BEGINIKAH KULTUR
ORGANISASI DALAM PENDIDIKAN?
Budaya dalam bekerja di Indonesia cenderung
bersifat munafik walaupun tidak ada data secara empiris, karena hal ini dapat
dilihat secara langsung dan dirasakan langsung apabila berhubungan dengan
birokrasi yang ada ,karena mereka yang cenderung diatas ingin dilayani dengan
baik dan memilki syahwat ingin menguasai segala lini tanpa memperhatikan
kondisi sekeliling yang ada (aji mumpung/selagi masih menjabat), sementara yang
diawah cenderung menjadi penjilat terhadap penguasa atau pimpinan karena
berhubungan dengan lamanya/langgengnya posisi jabatan yang dipegang apabila
tidak patuh sama pimpinan/penguasa
walaupun terkadang yang disampaikan/dikerjakan bertolak belakang dengan kebenaran. Dalam keadaan demikian,
sikap munafik akan menjadi subur tanpa di pupuk.
Keadaan demikian tampak juga dalam dunia
pendidikan di Indonesia walaupun tidak
bisa di sama ratakan secara menyeluruh. Misalnya ketika hendak diadakan
penilaian kinerja sekolah baik sekolah negeri atau swasta, tiba-tiba disulap
menjadi semua serba baik. Apa pun caranya, semua guru tanpaterkecuali harus
memiliki perangkat mengajar yang baik dan lengkap. Absen guru harus nihil/semua
hadir sesuai dengan jadwal yang ada.
Administrasi dan keuangan sekolah harus tertib dan lancar serta di olah
dengan sebaik-baiknya. Keadaan yang sama juga berlaku ketika sekolah akan
diakreditasi, karena akreditasi berhubungan dengan prestise/kemajuan suatu
sekolah dalam kaca mata masyarakat, walaupun terkadang akreditasi masih belum
berhubungan dengan minat belajar siswa.
Bila semuanya sudah selesai di akreditasi/visitasi , keadaan sekolah
akan kembali seperti biasa terkesan hanya menjalankan administrasi biasa aja.
Kinerja sekolah akan mulai menurun, motivasi pimpinan dan guru juga akan
menurun karena belum terciptanya budaya mutu.
Hal ini diperparah lagi dengan kondisi ada oknum pengawas sekolah yang
bisa dikondisikan dan diselesaikan dengan memberikan sogokan sehingga semua
terkesan menjadi baik.
Kultur organisai dalam pendidikan di indonesia
masih bersifat rutinitas, formalitas, paternalistic, birokratis, sentralistik, konfromistis serta hipokrit.
Kultur organisasi dalam pendidikan sekolah terbagi
menjadi seperti berikut ada yang mendukung, tidak mendukung dan netral. Contohnya
kultur organisasi sekolah yang mendukung peningkatan mutu pendidikan adalah
kerjasama dan bersinergi untuk berbuat yang terbaik/budaya mutu, memberikan
penghargaan kepada yang berprestasi, meningkatkan komitmen terhadap belajar,
mejadi tauladan bagi rekan lainnya. Contoh kultur organisasi sekolah yang
kontra terhadap peningkatan mutu adalah pemimpin yang tidak visioner dan hanya
memerintah, guru yang tidak produktif, guru tidak adaftif / tidak suka terhadap
perubahan, peserta didik takut salah, peserta didik takut bertanya, peserta
didik jarang bekerjasama dalam memecahkan masalah,peserta didik mempunyai budaya
malas belajar seperti tugas-tugas tidak dikerjakan dengan sebaik-baiknya/tugas
asal jadi saja,dan suka berkelahi (cepat marah).
Siswa/peserta didik tidak mungkin berdisiplin
dengan baik, kalau gurunya sendiri tidak berdisiplin, dan gurunya tidak akan
berdisiplin kalau kepala sekolahnya tidak berdisiplin. Berdasarkan budaya yang dalam
pendidikan bahwa pendidikan diciptakan untuk menghasilkan peserta didik yang professional dan
berkarakter. Budaya professional adalah perilaku yang takwa,
melaksanakan mutu yang mampu bersaing, baik diawasi maupun tidak diawasi; mengetahui
apa yang akan dikerjakan; mengetahui tingkat mutu pelayanan; memiliki kemampuan
dasar minimal dalam bekerja; mengetahui bagaimana cara mengerjakan dengan
sebaik-baiknya; berorientasi terhadap mutu terbaik; mengetahui metode dalam
bekerja; mengetahui prinsip dasar dalam melaksanakan kegiatan administrative secara
efektif dan efisien (produktif); mengetahui tentang organisasi/ kemana dan
kepada siapa tempat berkonsultasi; mampu
menampilkan sekolah yang efektif, luwes, efisien dan rapi sehingga terlihat
indah; mengetahui menerapkan kesehatan dan keselamatan kerja (k-3) dalam
bekerja; merasa hormat dan bangga dengan profesi sendiri, tetapi tetap menghargai
profesi orang lain; selalu berusaha memutakhirkan profesinya sesuai dengan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (adaftif); terbuka dalam berkomunikasi
demi kebenaran/ bisa dikritik orang lain demi kebaikan bersama; peduli terhadap
informasi; memiliki kode etik dan adanya otonomi keilmuwan.
Mungkinkah hal tesebut di atas sudah
menjadi budaya? Ini menjadi pertanyaan
besar bagi pimpinan sekolah selaku pembawa lokomonif apakah sekolah tersebut hanya
mempunyai prestasi biasa saja atau maju bahkan ada sekolah yang hidup segan
mati tak mau, artinya untuk membayar honor guru nya saja terkadang tidak mampu.
Keadaan ini tidak dapat disalahkan begitu saja karena mentalitas hipokrit
(munafik/suka berpura-pura) sudah menjadi budaya nasional? Keteladanan untuk tidak
KKN justru lebih efektif dari atas, apabila sebagai pimpinan tidak ada unsur
KKN maka bawahan akan mengikuti ritme yang ada.
Akan tetapi hampir tidak ada jabatan kepala
sekolah yang “gratis”. Karena masih ada
di beberapa daerah sudah tidak menjadi rahasia umum lagi kalau mau menjadi
harus bayar 30-50 juta. Kalau sudah dalam proses seleksinya saja sudah tidak
transparan dan bersifat transaksional, sudah dapat dibayangkan seperti apa
mentalitas pemimin yang ada dan apa yang dihasilkan apabila menjadi pembawa
lokomotif yang transaksional. Kita boleh
tidak setuju dengan kepala sekolah yang “mencuri” uang sekolah. Namun hampir
tidak ada pejabat yang berwenang yang menjatuhkan sanksi kepada kepala sekolah,
kecuali benar-banar “merampok”. Semoga hal ini tidak terjadi di pendidikan
propinsi kepulauan riau, apalagi propinsi kepri yang langsung berbatasan dengan
Negara Malaysia dan Singapura yang nota bene dibutuhkan lulusan yang siap
bersaing secara global.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar